Islam Sebagai Simbol dan Citra Perdamaian
Oleh Asrudin (Resensi saya atas buku Prof. Bambang Cipto, Dunia Islam dan Masa Depan Hubungan Internasional di Abad 21 (diterbitkan LP3M UMY, 2011).
Islam yang saya pahami, mengikuti pandangan Kuntowijoyo, adalah sebuah humanisme, yaitu agama yang sangat mementingkan manusia sebagai tujuan sentral. Inilah dasar Islam. Humanisme Islam adalah humanisme teosentrik. Artinya ia merupakan sebuah agama yang memusatkan dirinya pada keinginan terhadap Tuhan, tetapi mengarahkan perjuangannya untuk kemuliaan peradaban manusia.
Tapi peristiwa 9/11, 2001 merubah wajah humanisme Islam. Islam menjadi identik dengan kekerasan akibat ulah segelintir kelompok teroris yang mengatasnamakan Islam. Sejak itu dan hingga saat ini, dunia Islam pun memasuki masa-masa sulit, ketika George W. Bush melancarkan perang melawan terorisme pasca 9/11. Akibat dari hal itu, Irak dan Afghanistan pun di invasi dan banyak kalangan yang menyebut perang Bush ini, sebagai perang terhadap Islam.
Menghadapi sinisme Bush tersebut, dunia Islam berusaha menemukan teman-teman baru yang diharapkan dapat memahami posisinya. Arab Saudi misalnya, sebagai negara yang paling banyak dicaci maki oleh publik di Amerika melakukan serangkaian diplomasi untuk memulihkan citranya yang sempat luntur dimata Barat.
Hubungan dengan Cina dan Rusia pun kemudian dijalin dan dalam waktu singkat Arab Saudi kembali menemukan jati dirinya. Ternyata kedua negara tersebut menemukan minyak mentahnya. Demikian pula Iran yang selalu dituduh akan mengembangkan senjata nukllir telah lebih dahulu menjalin hubungan dengan kedua negara tersebut.
Dalam berjalannya waktu ternyata banyak negara yang tetap memandang dunia Islam sebagai mitra strategis selaku pemasok minyak mentah dan gas alam. Cina, Rusia, Jepang, dan Amerika sesungguhnya sulit mengabaikan Dunia Islam karena faktor sumber daya alam tersebut. Faktor minyak dan beberapa faktor lain menempatkan Dunia Islam pada posisi yang semakin strategis dalam hubungan Internasional saat ini dan dimasa yang akan datang.
Terkait dengan situasi itu, Bambang Cipto menulis sebuah buku yang berjudul, “Dunia Islam dan Masa Depan Hubungan Internasional Di Abad 21.” Tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman yang justru berseberangan dengan Barat soal Islam. Tidak hanya itu, dalam buku tersebut, Bambang Cipto pun mendobrak paham tradisionalis Islam yang menilai hubungan internasional selalu berlangsung anarkis: perang menjadi kata kunci. Tujuannya tidak lain adalah untuk memperbaiki citra Islam yang terlanjur rusak.
Dalam paham tradisional Islam, dijelaskan bahwa dunia hubungan internasional dibagi menjadi dua bagian, yakni Darul Islam dan Darul Harb. Di dalam Darul Islam, umat Islam dapat menemukan kedamaian dan ketenangan karena mereka dapat menjalankan ibadah dengan tenang tanpa terganggu oleh orang-orang yang tidak menyukai ibadah dan kehidupan kaum muslimin. Sementara Darul Harb, adalah kebalikan dari Darul Islam, dimana nilai-nilai Islam tidak dikenal sama sekali atau merupakan nilai asing. Kawasan ini cenderung memusuhi Darul Islam. Sehingga kaum muslimin dengan sendirinya akan kesulitan untuk dapat hidup dan beribadah dengan damai dan tenang.
Untuk itu, kaum tradisionalis Islam merasa perlu untuk menyebarkan agama Islam kepada seluruh umat manusia. Konsekwensi dari cara ini adalah, penguasa Darul Islam dapat menggunakan cara yang halus dan kasar sekaligus untuk mengajak umat manusia memeluk agama Islam. Bahkan jika penguasa Darul Harb menolak ajakan memeluk Islam akan dihadapi dengan kekuatan. Tidak mengherankan jika kalangan tradisionalis melihat kebijakan luar negeri negara Muslim bersandar pada kondisi perang secara terus-menerus. Pandangan ini sangat kental dengan aliran ilmu hubungan internasional yang sangat dominan, yakni realisme politik.
Jika ditelisik lebih jauh, ternyata pemahaman kaum tradisionalis ini bukanlah ajaran Islam sebagaimana yang di ajarkan dalam Al Quran. Konsepsi Darul Islam dan Darul Harb muncul hanya sebagai reaksi akademis (ijtihad) terhadap kondisi peperangan yang terus berlanjut pada masa lalu.
Sesungguhnya pembagian wilayah berdasarkan Darul Islam dan Darul Harb itu lebih bersifat legal, akan tetapi tidak memiliki dasar teologis. Oleh karena itu pandangan ini dapat diubah sejalan dengan tidak berlakunya kembali persyaratan pembentukan teori pada waktu itu.
Untuk itu, sebagai solusi untuk memperbaiki citra Islam sebagai agama humanis, Bambang Cipto menjelaskan lima konsepsi Islam yang terkandung dalam Al Quran sebagai pesan perdamaian. Pertama, prinsip kerjasama. Dalam QS. Al-Hujuurat: 13, dijelaskan bahwa “Allah menciptakan manusia dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan manusia ke dalam berbagai bangsa dan suku-suku untuk saling mengenal.” Pesan ayat ini jelas, bahwa manusia yang paling bertaqwa adalah manusia yang mengedepankan prinsip kerjasama agar saling mengenal dan bukanlah saling memusuhi.
Kedua, prinsip perdamaian. Dalam QS. Al-Anfaal: 61, dijelaskan “dan jika manusia condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertaqwalah kepada Allah…” Pesan ayat ini sangat jelas mengatakan, bahwa Allah memerintahkan kaum muslimin untuk selalu menerima perdamaian sebagai landasan hubungan internasional terhadap yang lain.
Ketiga, prinsip kemuliaan manusia. Dalam QS. Al-Israa: 70, dijelaskan “Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkat mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan mahkluk yang telah kami ciptakan.” Dalam konteks hubungan internasional, prinsip kemuliaan anak Adam seharusnya bersifat inheren. Penghargaan atas manusia atau pemuliaan manusia sebagai insan ciptaan Allah adalah persyaratan dasar yang diperlukan agar kerjasama dan perdamaian dapat terwujud.
Keempat, prinsip keadilan. Dalam QS. Al-Maidah: 8, dijelaskan dengan tegas, “hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adilah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Pesan ayat ini adalah, bahwa sudah semestinya keadilan dijadikan rangsangan bagi para elit politik di setiap negara dalam menjalankan kebijakan-kebijakan. Jika landasan ini dipakai oleh setiap elite politik pembuat kebijakan dari setiap Negara, hubungan internasional akan cenderung berlangsung damai.
Terakhir, adalah prinsip memenuhi janji. Dalam QS. Al-Maidah: 1, dengan jelas dikatakan, “Hai orang-orang beriman. Penuhilah janjimu.” Kesediaan memenuhi janji bukanlah urusan sederhana. Kesediaan memenuhi janji adalah salah satu sarana untuk membangun kepercayaan pada sesama manusia atau kepercayaan antar-negara. Dengan terbangunnya kepercayaan maka hubungan manusia dan hubungan antar-negara akan mudah untuk dilakukan tanpa adanya permusuhan satu-sama-lain.
Kelima prinsip dalam Al Quran ini penting untuk diperhatikan, tidak hanya bagi negara Barat yang cenderung curiga terhadap Islam, tapi juga bagi umat Islam itu sendiri. Jika hal ini dapat dipahami dan diresapi, tentunya Barat akan memandang Islam sebagai agama yang menghargai kemanusiaan dan kaum muslim pun akan cenderung melakukan hal yang sama untuk dapat menghargai non-muslim. Dengan bercermin pada kelima prinsip Al Quran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Islam bukanlah agama yang identik dengan kekerasan, melainkan Islam sebagai simbol dan citra perdamaian.
Meskipun buku ini tidak dimaksudkan oleh penulisnya sebagai sebuah buku pegangan yang mendalam soal Islam dalam HI. Akan tetapi, menurut hemat saya, buku ini dapat dijadikan pemahaman dasar bagi para penstudi HI di Indonesia untuk dapat memahami perspektif baru (Islam), tentang: bagaimana Islam bicara tentang HI; bagaimana Islam dapat dijadikan solusi bagi perdamaian dunia.
